Permodalan Bagi Industri Perbankan
Permodalan Bagi Industri Perbankan sangat penting karena berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya risiko. Besar kecilnya modal sangat berpengaruh terhadap kemampuan bank untuk melaksanakan kegiatan operasinya. Selain itu modal juga berfungsi untuk menjaga kepercayaan terhadap aktivitas perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah.
Pada tahun 1988 BIS (Bank for International Settlement yang merupakan organisasi internasional yang mendorong kerjasama moneter dan keuangan secara internasional dan melakukan tugas sebagai bank bagi bank sentral) mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006).
Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006).
Untuk memperkecil risiko usaha dibutuhkan praktek tata kelola Bank yang sehat (good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi pengawasan aktif pengurus Bank, kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian risiko, serta sistem pengendalian intern (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2003). Banyaknya investor institusi dalam kepemilikan saham perbankan diharapkan dapat memberikan pengawasan yang efektif terhadap permodalan.
Mengingat pentingnya modal pada bank, pada bulan Januari 2004 Gubernur Bank Indonesia juga mengumumkan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) salah satu isinya adalah pada tahun 2010 mensyaratkan modal minimum bagi bank umum sebesar Rp 100 milyar.
Sehingga sesuai dengan skenario API tersebut, masa depan bank-bank komersial nasional di Indonesia akan mempunyai pada model struktur permodalan perbankan yang terdiri dari:
(a). 2 (dua) buah sampai 3 (tiga) buah bank internasional dengan modal masing- masing diatas Rp 50 triliun
(b). 3 (tiga) sampai 5 (lima) bank nasional dengan bidang usaha luas dan wilayah usaha berskala nasional, dengan ketentuan memiliki modal antara Rp 10 triliun sampai Rp 50 triliun,
(c). Selanjutnya ada 30 sampai 50 bank yang mempunyai cakupan usaha terbatas, baik dalam cakupan pelayanan pada sektor usaha tertentu maupun luas wilayah tertentu, dengan ketentuan permodalan antara Rp 100 miliar sampai Rp 1 triliun. Meskipun akan memberatkan bagi bank-bank kecil, tetapi langkah ini dinilai efektif untuk lebih memperkuat fundamental perbankan dalam jangka panjang (Sugiarto,2004).
Dalam rangka menuju perbankan Indonesia yang sehat, kuat dan efisien pada akhir Juni 2005, Bank Indonesia (BI) kembali mengumumkan mengenai kriteria bank jangkar (Anchor Bank). Hal ini akan menjadi sebuah titik pijak apabila disertai dengan komitmen dan konsistensi kebijakan yang mendukung tercapainya tujuan tersebut. Beberapa kriteria bank jangkar sebagaimana diumumkan BI, yaitu :
a. Permodalan yang kuat, hal ini tercermin dari rasio kecukupan modal
(CAR) sebesar 12% dan modal inti minimum 6%.
b. Pertumbuhan pendapatan yang tinggi, hal ini dilihat dari rasio Return On
Asset (ROA) minimum 1,5%.
c. Pertumbuhan kredit minimum 22% per tahun, loan to deposit ratio (LDR)
minimum 50% dengan rasio non performing loans (NPL) net dibawah 5%. d. Menjadi perusahaan publik dalam waktu dekat.
e. Memiliki kemampuan sebagai konsolidator.
Dengan melihat kriteria bank jangkar yang pertama yang menyatakan permodalan harus kuat guna menjaga tingkat kesehatan perbankan di Indonesia secara nasional yang sehat dan dapat bersaing di wilayah / regional khususnya kawasan Asia, maka diperlukan variabel yang dapat mengukur tingkat kesehatan bank yang sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia tersebut. Variabel- variabel langsung sebagai indikator penting sesuai dengan yang ditetapkan oleh komite Basel dan BI dalam pengukuran risiko kredit, antara lain rasio kecukupan modal (CAR). CAR juga merupakan indikator yang paling penting menurut Bank Indonesia dalam menjaga tingkat kesehatan bank (SK Dir BI, April 1999). Adapun faktor-faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi CAR secara langsung adalah ROA, pertumbuhan asset, pertumbuhan penjualan dan kepemilikan institusi.
Permodalan Bagi Industri Perbankan sangat penting karena berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya risiko. Besar kecilnya modal sangat berpengaruh terhadap kemampuan bank untuk melaksanakan kegiatan operasinya. Selain itu modal juga berfungsi untuk menjaga kepercayaan terhadap aktivitas perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah.
Pada tahun 1988 BIS (Bank for International Settlement yang merupakan organisasi internasional yang mendorong kerjasama moneter dan keuangan secara internasional dan melakukan tugas sebagai bank bagi bank sentral) mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006).
Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006).
Untuk memperkecil risiko usaha dibutuhkan praktek tata kelola Bank yang sehat (good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi pengawasan aktif pengurus Bank, kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian risiko, serta sistem pengendalian intern (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2003). Banyaknya investor institusi dalam kepemilikan saham perbankan diharapkan dapat memberikan pengawasan yang efektif terhadap permodalan.
Mengingat pentingnya modal pada bank, pada bulan Januari 2004 Gubernur Bank Indonesia juga mengumumkan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) salah satu isinya adalah pada tahun 2010 mensyaratkan modal minimum bagi bank umum sebesar Rp 100 milyar.
Sehingga sesuai dengan skenario API tersebut, masa depan bank-bank komersial nasional di Indonesia akan mempunyai pada model struktur permodalan perbankan yang terdiri dari:
(a). 2 (dua) buah sampai 3 (tiga) buah bank internasional dengan modal masing- masing diatas Rp 50 triliun
(b). 3 (tiga) sampai 5 (lima) bank nasional dengan bidang usaha luas dan wilayah usaha berskala nasional, dengan ketentuan memiliki modal antara Rp 10 triliun sampai Rp 50 triliun,
(c). Selanjutnya ada 30 sampai 50 bank yang mempunyai cakupan usaha terbatas, baik dalam cakupan pelayanan pada sektor usaha tertentu maupun luas wilayah tertentu, dengan ketentuan permodalan antara Rp 100 miliar sampai Rp 1 triliun. Meskipun akan memberatkan bagi bank-bank kecil, tetapi langkah ini dinilai efektif untuk lebih memperkuat fundamental perbankan dalam jangka panjang (Sugiarto,2004).
Dalam rangka menuju perbankan Indonesia yang sehat, kuat dan efisien pada akhir Juni 2005, Bank Indonesia (BI) kembali mengumumkan mengenai kriteria bank jangkar (Anchor Bank). Hal ini akan menjadi sebuah titik pijak apabila disertai dengan komitmen dan konsistensi kebijakan yang mendukung tercapainya tujuan tersebut. Beberapa kriteria bank jangkar sebagaimana diumumkan BI, yaitu :
a. Permodalan yang kuat, hal ini tercermin dari rasio kecukupan modal
(CAR) sebesar 12% dan modal inti minimum 6%.
b. Pertumbuhan pendapatan yang tinggi, hal ini dilihat dari rasio Return On
Asset (ROA) minimum 1,5%.
c. Pertumbuhan kredit minimum 22% per tahun, loan to deposit ratio (LDR)
minimum 50% dengan rasio non performing loans (NPL) net dibawah 5%. d. Menjadi perusahaan publik dalam waktu dekat.
e. Memiliki kemampuan sebagai konsolidator.
Dengan melihat kriteria bank jangkar yang pertama yang menyatakan permodalan harus kuat guna menjaga tingkat kesehatan perbankan di Indonesia secara nasional yang sehat dan dapat bersaing di wilayah / regional khususnya kawasan Asia, maka diperlukan variabel yang dapat mengukur tingkat kesehatan bank yang sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia tersebut. Variabel- variabel langsung sebagai indikator penting sesuai dengan yang ditetapkan oleh komite Basel dan BI dalam pengukuran risiko kredit, antara lain rasio kecukupan modal (CAR). CAR juga merupakan indikator yang paling penting menurut Bank Indonesia dalam menjaga tingkat kesehatan bank (SK Dir BI, April 1999). Adapun faktor-faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi CAR secara langsung adalah ROA, pertumbuhan asset, pertumbuhan penjualan dan kepemilikan institusi.