a

Faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Spesies Burung

Faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Spesies Burung
Studi mengenai faktor lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman spesies burung pada suatu komunitas telah dilakukan sejak tahun 1960, dan terus berkembang hingga kini. Beberapa peneliti tersebut diantaranya adalah MacArthur and MacArthur (1961); Recher (1969); Pearson (1975) dan Karr (1976) (dalam Johnsingh and Joshua, 1994). Para peneliti tersebut menjelaskan bahwa kekayaan spesies dan struktur komunitas burung akan berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah lainnya karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya keanekaan  struktur tumbuhan dan struktur vegetasi seperti keragaman tajuk vegetasi dan  stratifikasi vegetasi; ketersediaan bunga dan buah (phenology) vegetasi; gangguan manusia serta alam; dan efek tepi terhadap komunitas.
Hubungan antara keadaan vegetasi dalam suatu habitat berhubungan dengan penampakan struktur vegetasi (Bibby et al., 1992).  Hasil studi mengenai hubungan tersebut, umumnya mendukung pendapat MacArthur dan MacArhur (1961) yang menyatakan bahwa semakin beraneka keadaan tajuk vegetasi pada suatu habitat akan semakin beraneka juga burung yang ada dalam habitat tersebut.  Struktur vertikal vegetasi dalam suatu habitat akan mempengaruhi penyebaran spesies-spesies burung yang menempatinya. Anderson (1979) menjelaskan bahwa komposisi spesies burung pada struktur vegetasi tidak terlihat pengelompokkan tiap spesies secara tajam pada lapisan tertentu, tetapi tersebar secara bervariasi pada kesinambungan struktur vegetasi dan penampakan fisik suatu habitat. Pengunaan habitat oleh tiap spesies burung berlangsung pada beberapa titik yang berkesinambungan, dan akan berubah tergantung pada penampakan habitat yang menyediakan kesempatan berkompetisi dalam komunitasnya. Cody (1974) menyatakan bahwa bentuk khusus pembagian habitat secara vertikal umum terjadi pada spesies-spesies burung pemakan serangga yang hidup pada dedaunan dan burung pemakan serangga terbang, dan secara umum struktur vegetasinya terbagi dalam tiga lapisan (0–2, 2–20 dan >20m) untuk hutan sub-tropis dan empat lapisan (0–2, 2–10, 10–25 dan >25 m) untuk hutan tropis.
Selain struktur vegetasi yang dibangun oleh berbagai spesies tumbuhan, tumbuhan juga memiliki fungsi yang lebih luas, yaitu habitat dari berbagai spesies burung karena kemampuannya untuk menjadi sumber makanan, penyedia bahan sarang, tempat bersarang, tempat memantau daerah yang dikuasai, tempat bersembunyi dan tempat berlindung. Seperti diungkapkan oleh Welty and Baptista (1988) bahwa tumbuhan tidak hanya memberi ketersediaan makanan namun juga memberikan syarat psikologis bagi kelangsungan hidup burung. Pernyataan tersebut didukung oleh Oriens (1969) yang menyatakan bahwa spesies burung insectivora dan frugivora di hutan tropis dataran rendah Costarika Amerika lebih dipengaruhi oleh keanekaan spesies tumbuhan yang mampu menyediakan bunga dan buah dibandingkan oleh keragaman tajuk tumbuhan. Heddy dan Kuniarti (1994) menjelaskan bahwa keanekaan spesies burung sangat dipengaruhi tingkat pakan dan ketersediaan pakan pada habitat.
Tidak hanya keragaman tajuk tumbuhan dan penyedia pakan, keanekaan spesies burung pada suatu habitat juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kondisi geografis dan perubahan fisik habitat. Keast (1971) menjelaskan bahwa keanekaan stratifikasi tajuk tanaman bukan satu-satunya faktor yang mendukung tingginya keanekaan spesies burung pada suatu wilayah tertentu, masih terdapat faktor lain mempengaruhinya, sejalan dengan yang dijelaskan Odum (1994), bahwa keanekaan spesies mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberi reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi, perkembangan atau fisik.  Hal tersebut disebabkan oleh keanekaan spesies yang lebih tinggi akan membentuk rantai-rantai  pakan yang lebih panjang dan lebih banyak kasus simbiosis, sehingga mengurangi gangguan akibat rantai pakan itu menjadi mantap (Odum, 1994). Pada komunitas lingkungan yang mantap seperti hutan hujan tropik, akan mempunyai keanekaan spesies yang lebih tinggi daripada komunitas-komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan musiman secara periodik yang dilakukan oleh manusia atau alam (Odum, 1994). Dicontohkan oleh Heddy dan Kurniati (1994) bahwa komunitas dengan keanekaragaman spesies tinggi misalnya hutan hujan tropik akan lebih mantap terhadap gangguan lingkungan/iklim.
            Komunitas di dalam lingkungan yang mantap seperti hutan hujan tropik, mempunyai keanekaragaman spesies yang lebih tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan musiman atau secara periodik oleh manusia atau alam.  Keanekaragamanan spesies cenderung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dibandingkan dengan di dalam komunitas yang baru terbentuk (Odum, 1994).  Hal tersebut terkait dengan yang dijelaskan Daubenmire, 1970 (dalam Haegen et al., 2000) bahwa selain tanah yang mempengaruhi bentukan suatu ekosistem dan komunitas vegetasinya, beberapa faktor lainnya adalah komposisi, tekstur dan  kedalaman tanah yang akan mempengaruhi sistem drainase, ketersediaan unsur hara dan kedalaman perakaran serta variasi dari faktor edapik klimaks pada komunitas.  Hal ini terkait dengan apa yang dijelaskan oleh Knick dan Rotenberry, 1995 (dalam Haegen et al., 2000); Richards, 1952 (dalam Thiollay, 1994) bahwa burung yang memanfaatkan vegetasi sangat dipengaruhi oleh perubahan struktur tumbuhan dan struktur vegetasi, dan perubahan floristik tumbuhan dan struktur vegetasi sangat dipengaruhi tipe tanah, walaupun pendapat tersebut diperdebatkan oleh Ashton (1989) dan Thiollay 1991 (dalam Thiollay, 1994).
            Warner (1994) lebih jauh menjelaskan pengaruh gangguan manusia yang bersifat tidak langsung terhadap keanekaragaman spesies burung adalah timbulnya kegagalan persarangan sekitar lahan pertanian akibat kehadiran predator dari pembukaan semak dan perawatan lahan, perumputan serta pestisida.  Faktor lain yang diperkirakan juga memiliki pengaruh terhadap keanekaragaman spesies burung pada suatu tipe komunitas tertentu adalah fragmentasi komunitas yang sekaligus menjadi habitat. Sehingga fragmentasi habitat merupakan salah satu penyebab perubahan suatu bentang lahan juga mempengaruhi distribusi dan abundansi burung pada bentang lahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh terjadi redistribusi tipe habitat dan perubahan karakteristik habitat serta terjadinya penurunan jumlah bercak serta peningkatan efek tepi (Ambuel and Temple, 1983; Wilcove et al, 1986, Robbins et al, 1989; Bolger et al 1991; 1997 (dalam Haegen et al, 1999). Dampak yang ditimbulkan adalah menurunnya produktivitas populasi akibat meningkatnya predasi sarang (Gates and Gysel, 1978 dan Wilcove, 1985 dalam  Haegen et al, 2000), meningkatnya parasitisme sarang (Brittingham and Temple, 1983; Robinson et al, 1995 (dalam Haegen et al, 2000) dan menurunkan tingkat keberhasilan mencari pasangan (pairing) oleh burung jantan (Gibss and  Faaborg, 1990; Villard et al., 1993; Hagan et al., 1996). Kondisi tersebut disebabkan oleh gangguan yang ditimbulkan walaupun mempunyai peranan kecil namun bersifat penting dalam keberhasilan terbentuknya suatu komunitas tumbuhan bawah (Daubermire, 1970; Smith et al, 1995 dalam Haegen et al., 2000)).  Hal tersebut sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Terborgh, 1971 (dalam Welty and Baptista, 1988) bahwa keanekaragaman spesies burung dipengaruhi oleh struktur habitat dan lebih jauh lagi dipengaruhi oleh luas area yang didiaminya dan jarak area tersebut dengan area yang sama. Welty and Baptista (1982) lebih jauh menjelaskan bahwa suatu bercak yang mempunyai komposisi dengan varasi spesies pohon yang tinggi akan mendukung lebih tingginya keanekaragaman burung daripada luas area yang sama yang mempunyai komposisi satu spesies pohon, walaupun tidak selamanya demikian.
            Selanjutnya beberapa penelitian lain menjelaskan bahwa salah satu cara untuk memperkirakan hubungan antara kondisi komunitas dengan sumber-sumber dan tekanannya adalah dengan dicari nilai indeks keanekaan (Odum, 1994); dengan menghitung jumlah spesies yang ditemukan pada suatu daerah (Krebs, 1985) dan menghitung jumlah burung dapat digunakan maksimum kelimpahan selama studi (Haegen et al, 2000). Dan hubungan antara variable-variabel lingkungan dengan komunitas burung tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis CCA (Ter Braak, 1992 dalam  Chamberlain et al., 1999).   Lebih jauh, seperti yang dinyatakan oleh Whittaker (1972) bahwa pada studi yang berkenaan dengan hubungan antara keanekaan spesies dan kondisi lingkungan tidak hanya diacu kepada kasus keanekaan saja, namun juga dapat dilakukan pada tingkat komunitas (Terborgh, 1973 dalam Zobel, et al., 1976). Untuk itu Pärt T, (1999) melakukan pendekatan yang pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya dengan memunculkan variabel-variabel area dan panjang (dimensi) dari tipe tata guna lahan, melalui analisis multivariate untuk melihat korelasi/hubungan antara keanekaan spesies burung dengan variable-variabel lingkungan. Balent and Courtiade (1992) menambahkan perubahan komposisi dan organisasi komunitas dapat diukur menggunakan indikator jumlah atau abundasi, empirikal indeks seperti indeks keanekaan (Verneaux and Tuffery, 1967 dalam Balent and Courtiade, 1992), indek keanekaan Shannon (Tramer 1969; Whittake 1972, dalam Balent and  Courtiade 1992) atau ordinasi multifaktorial dari spesies terhadap matrik (Rottenberry and Wiens 1980; Prodon and Lebreton 1981; Balent 1986; Hacker 1986 dalam Wiens, 1989). Blondel (1979) dan Opdam (1984) dikutip dalam Wiens (1989) menambahkan indikator yang paling sensitif dalam melihat dampak dari perubahan struktur bentang lahan dan tata guna lahan serta paling mungkin dalam luasan yang besar adalah mempelajari masa berkembang biak burung pada habitatnya.
Artikel Menarik Lainnya
Copyright © 2012-2099 Contoh Artikel Berita - Template by Ardi Bloggerstranger. All rights reserved.