Bentang Lahan (Landcsape)
Bentang lahan didefinisikan sebagai suatu ruang yang terdapat di permukaan bumi yang terdiri dari sistem yang kompleks yang terbentuk dari aktivitas-aktivitas faktor-faktor abiotik dan biotik serta fisiognominya membentuk suatu kesatuan yang dapat dikenali (Forman and Godron, 1986). Forman and Gordon (1986) menjelaskan bahwa matriks adalah kumpulan ekosistem yang paling luas pada bentang lahan, sedangkan bercak adalah penampakan suatu area yang secara non-linier berbeda dengan penampakan sekelilingnya, dimana bercak seolah-oleh tertanam dalam matriks. Gangguan yang muncul dalam bercak adalah segala sesuatu dari luar bercak yang memungkinkan berubahnya bercak, dapat diakibatkan oleh kegiatan manusia atau terjadi secara alami. Bercak sangat dipengaruhi oleh perubahan ukuran populasi beberapa spesies secara bertahap dan meningkat hingga habis. Kepunahan yang terjadi secara local umumnya menyebabkan hilangnya area bercak. Ekoton merupakan zona transisi dari perubahan dua tatanan bentang lahan secara berulang-ulang dan membentuk reaksi non-linier yang didefinisikan dalam skala ruang dan waktu serta kuatnya interaksi yang terjadi (di Castri and Hansen, 1992). Bercak itu sendiri dapat dipisahkan secara ekstrim ataupun gradual membentuk koridor atau tidak, bercak yang terbentuk gradual umumnya adalah bercak dengan sedikit gangguan, sedangkan yang ekstrim memiliki tingkat gangguan yang tinggi. Ekoton umumnya terlihat diantara bercak dengan tingkat gradual yang tinggi. Elemen dasar yang digunakan dalam studi ekologi bentang lahan adalah ekotipe, yaitu satuan unit terkecil dari lahan yang menunjukkan cirri satuan holistiknya, seperti biotope, habitat, facet, site dan lainnya, seperti ekosistem dan komunitas.
Ditinjau dari kajian yang pernah dilakukan, studi bentang lahan atau studi ekologi bentang lahan umumnya dilakukan pada penelitian konservasi, pada berbagai habitat pada skala regional dan berkaitan dengan proses ekosistem dan distribusi spesies (Urban, et al., 1987; Hansson, 1995 dalam Primack, et al. 1998). Pendekatan bentang lahan dalam studi konservasi umumnya ditujukan pada perbaikan keanekaragaman hayati baik pada tingkat bentang lahan lokal atau regional (Grumbine, 1994; Noss and Cooperrider 1994 dalam Primack, et al. 1998). Hal tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Jongman (2002) bahwa tidak hanya manusia yang memanfaatkan jejaring bentang lahan, tumbuhan dan hewan yang bergerak juga memanfaatkan bentang lahan sebagai jalur pergerakannya dari satu habitat ke habitat lainnya. Saunders et al, 1993 (dalam Arnold, et al., 1995), menjelaskan bahwa tanpa pendekatan manajemen bentang lahan yang terintegrasi, tidak ada sisa (bercak) yang memiliki potensi sebagai habitat bagi hewan, khususnya pada spesies kangguru di Australia.
Pada ekologi bentang lahan, proses fragmentasi hutan sering dipergunakan sebagai kasus dari terbentuknya spatial heterogonity, isolasi, perubahan ukuran dan bentuk, karakteristik batas, tingkat konektivitas dan koridor satwa liar. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh MacClintock et al 1977; Noss 1983; Lord and Norton 1990 (dalam Arnold, et al., 1995). Sedangkan studi yang lebih rinci mengenai efek tepi dari terbentuknya bercak telah dilakukan oleh Yoakum and Dasmann, 1971 (dalam Primack, et al. 1998). Studi tersebut erat kaitannya dengan jumlah spesies hewan vertebrata yang menempati bercak, karena adanya korelasi positif antara jumlah spesies terhadap ukuran luas bercak yang ditimbulkan oleh panjang rantai makanan. Menurut Jongman (2002), fragmentasi pada suatu bentang lahan menyebabkan spesiasi dan endemisasi tumbuhan di kawasan California dan mempengaruhi dinamika ekosistem dan perubahan gen spesies, akibat pengaruh faktor abiotik dan klimat, khususnya yang membentuk gradien ekologi.
Proses fragmentasi pada suatu bentang lahan tidak hanya dikaji pada kawasan alami seperti hutan, namun juga kawasan budidaya. Hal tersebut tampak dari berbagai contoh penelitian kerusakan bentang lahan pada fragmen continuum (polikultur) menjadi discontinuum (monokultur) di Eropa Barat dan Argentina yang menyebabkan hilangnya spesies Lynx dan 25 spesies hewan pada radius 40-60 km karena kegagalan kemampuan bertahan hidup. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Jongman (2002), bahwa pada kebanyakan spesies yang hidup di hutan alam akan selalui berinteraksi dengan kawasan pertanian yang dekat dengan hutan. Oleh sebab itu pengelolaan lahan pertanian dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi yang membentuk bentang lahan berbeda secara struktur lahan, ukuran bercak, keanekaragaman vegetasi alami dan semialaminya serta keragaman fungsinya menjadi penting bagi keanekaragaman hayati (Jongman, 2002).
Fragmentasi di kawasan alami dan budidaya merupakan persoalan spasial yang menyebabkan terbelahnya habitat spesies, minishing habitat area dan meningkatkan barier atau spasial discontinue, beberapa elemen bentang lahan yang menyebabkan terbentuknya barier adalah jalan raya, saluran air, jalan kereta api, permukiman, lahan pertanian dan industri yang menyebabkan penurunan bentang lahan elemen dari hutan kecil, semak belukar dan zona-zona tepi. Efek fragmentasi tersebut juga terjadi terhadap burung, bahkan Lefkovitch and Fahrig, (1985); Fahrig and Merriam (1985); Opdam, (1990); van Dorp and Opdam, 1987 (dalam Arnold, et al., 1995) menyatakan bahwa sebaran spesies burung dipengaruhi oleh perilaku dan kemampuan menyebar dari spesies burung itu sendiri dan konektivitas antar habitat. Hal tersebut dijelaskan oleh Merria, et al., 1989 (dalam Arnold, et al., 1995), bahwa banyak spesies yang mampu beradaptasi terhadap fragmentasi yang telah berlangsung, karena terdapat beberapa spesies menganggap fragmentasi bentang lahan adalah sesuatu yang normal. Namun penelitian yang dilakukan Warner (1994), mengemukakan hasil yang berbeda, yaitu fenomena dari fragmentasi padang rumput di kawasan Illionis Amerika telah menyebabkan tingginya kegagalan menetas telur dari spesies burung Pheasant akibat lebarnya tepi elemen bentang lahan sehingga memudahkan predator menemukan sarang. Studi asosiasi antara lebar koridor dan keanekaragaman spesies selalu ditemukan berhubungan erat, dengan vegetasi pohon sebagai spesies tumbuhan sepanjang tepi tata guna dan riparian ekosistem (Anderson, et al., 1977; Gate and Gysel 1978; Forman and Baudry 1984; Osborne 1984; Shallaway 1985; Warner 1992 dalam Warner (1994). Dan Blandin (1986) dan Baker (1989) dalam Balent and Courtiade (1992), menjelaskan bahwa indikator yanga dapat digunakan untuk melihat perubahan bentang lahan dapat dilakukan dengan menggunakan elemen bentang lahan seperti tipe hutan, tipe tata guna lahan dan atau tahapan suksesi dari suatu bentang lahan, sedangkan Balent and Courtiade (1992) mempelajari perubahan karakteristik suatu bentang lahan dari input-output dalam kegiatan pertanian.
Mengacu kepada konsep bentang lahan seperti yang telah dipaparkan di atas, maka bentang lahan hutan alam Gunung Wayang–Windu yang termasuk kedalam Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu pada koordinat 07.04.00 – 07.03.30 S dan 107.40.38 -107.45.00 T, dapat dikatagorikan kedalam 8 - 11 tipe tata guna lahan. Badan Koordinasi Survey dan Pementaan Nasional (Bakosurtanal) tahun 1999 dan peta citra-lansat 2001. Penetapan tipe tata guna lahan dari kedua sumber data peta yang dipergunakan tersebut juga didasarkan kepada hasil studi lapangan saat penentuan lokasi untuk sampling (ground truth). Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah kesalahan interpretasi sehingga perbedaan yang ada diantisipasi pada studi ini dengan melakukan kombinasi penamaan tipe tata guna yang telah ditetapkan dengan kondisi aktual dengan maksud mencegah dikotomi. Beberapa hal yang mempengaruhi perbedaan penamaan yang terjadi tersebut umumnya disebabkan oleh laju fragmentasi dan laju pengalihfungsian lahan yang cukup cepat, khususnya pada kurun tahun 1998-2002, sehingga legenda peta tidak lagi up to date, selain disebabkan pula oleh perbedaan penetapan sifat generalisasi dalam peta karena skala 1:25.000 yang umum dipergunakan. Pentingnya penetapan tipe tata guna lahan ini sangat erat kaitannya dengan penamaan tipe tata guna yang dimaksud dalam studi, serta katagorisasi dalam penetapan peringkat bercak dari setiap tipe tata guna lahan.