Hukum dan Keadilan
Tujuan akhir hukum adalah keadilan, oleh karena itu segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan suatu sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagi hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum (Huijbers, 1995:70)
Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas sesuai dengan pengemban misi keadilan secara sepontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum. Huijbers menambah alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur kontitutif hukum :
A. Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang nyata didalamnya.
B. Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap sebagai Undang-Undang yang tidak usang dan tidak berlaku lagi.
C. Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenarnya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah secara hukum.
Konsekkuensi pandangan kontinental sistem tentang nilai keadilan hukum adalah Undang-Undang yang adil merupakan unsur konstitutif dari segala pengertian hukum hanya peraturan yang ada yang disebut hukum.
a. Hukum melebihi negara karena negara tidak boleh membentuk hukum yang tidak adil. Lebih percaya pada prinsip-prinsip moral yang dibuat dalam undang-undang dari pada kebijaksanaan manusia dalam bentuk putusan-putusan hakim.
b. Sikap kebanyakan orang terhadap hukum mencerminkan pengertian hukum ini, yaitu hukum sebagai moral hidup (norma ideal).
c. Prinsip-prinsip pembentukan hukum )prinsip-prinsip keadilan bersifat etis maka hukum sebagai keseluruhan mewajibkan secara bathiniah.
Ungkapan tersebut sejalan dengan komentar Khan tergambar suatu pengertian bahwa tujuan akhir hukum berupa keadilan harus dicapai melalui suatu institusi legal dan independen dalam negara. Hal tersebut menunjukan pentingnya mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara sebagi orentasi hukum terutama setelah perang dunia kedua. Seringkali akibat pengalaman pahit yang ditinggalkan kaum Nazi yang menyalah gunakan kekuasaan untuk membentuk undaang-undang yang melanggar norma-norma keadilan, makin banyak orang yang sampai kepada keyakinan hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan untuk dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak maka hukum hanya pantas disebut seabagi tindakan kekerasan belaka (Huijbers, 1995:71).
Dalam bidang hukum keadilan menjadi tugas hukum atau merupakan kegunaan hukum. Keadilan yang menjadi tugas hukum merupakan hasil keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Secara ideal yang menjadi tugas hukum atau merupakan pencerminan asas tidak merugikan orang lain, sedangkan kesebandingan hukum merupakan pencerminan asas bertindak sebanding. Oelh karena keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum merupakan inti penegak hukum maka penegakan hukum sesungguhnya dipengaruhi oleh :
a. Hukum itu sendiri
b. Kepribadian penegak hukum
c. Fasilitas kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
d. Taraf kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
e. Kebudayaan yang dianut masyarakat(Soekanto, 1988: 29)
Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyatan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup dimasyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak diantara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih mendekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong kepada kutub lainnya.
Keadilan yang mendekati kutub Naminem Leadere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual dan sensitif maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Sum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut disyaratkan bahwa hanya melaui suatu tata hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Para sarjana Inggeris dan Amerika dalam memang prinsip keadilan lebih banyak diwarnai dengan filsafat empirisme dan pragmatisme. Pada intinya pandangan ini beranggapan bahwa kebenaran berasal dari pengalaman dan praktek hidup, karena yang diutamakan dalam menangani hukum adalah hubungan dengan realitas hidup bukan dengan prinsip-prinsip abstrak tentang keadilan. Oleh karena itu adil dan tidak adil tidak terpengaruh oleh pengertian tentang hukum tetapi lebih banyak diwarnai oleh realitas pragmatis. Konsekuensi pandangan ini adalah :
1. Pada prinsipnya hukum tidak melebihi negara (yang dianggap sama dengan rakyat). Hukum adalah sarana pemerintah untuk menagutr masyarakat secara adil tidak ada instansi yang lebih tinggi dari hukum. Karena kemungkinan dari ketidakadilan tetap ada. Diharapkan bahwa dalam praktek hukum keyakinan-keyakinan rakyat dan kebijaksanaan para hakim mengindari penyimpangan yang terlalu besar.
2. Hukum adalah apa yang berlaku defacto dan itulah akhirnya tidak lain daripada keputusan hakim dari juri rakyat. Sementara rakyat juga menyadari bahwa hukum tak lain dari apa yang telah ditentukan.
3. Menurut alirn empirisme hukum sebagi sistem tidak mewajibkan secaraa bathiniah, sebab tidak dipandang sebagi bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati sebab ada sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman sedangkan ketaataan secaraa bathiniah lebih banyak disebabkan oleh keyakinan agama (Huijbers, 1995: 70).
Seorang filsuf Amerika Latin Louis Recasen Siche mengatakan bahwa disatu sisi kepastian dan keamanan merupakan tujuan primer dan mendesak bagi hukum, dilain sisi keadilan harus diusahakan oleh paraa pembuat hukum sebagi tujuan akhir yang lebih jauh. Hukum tidak dilahirkan untuk manusia karena alasan ingin memberikan upeti atau penghormatan kepada teori keadilan, tetapi untuk memenuhi urgensi yang tidak bisa dihindarkan bagi keamanan dan kepastian kehidupan sosial. Pertanyaan tentang sebab musabab manusia membuat hukum tidak dijawab dalam struktur teori keadilan, akan tetaapi dalam suatu nilai yang lebih rendah keamanan adalah sesuatu yang lebih cocok bagi manusia.
Bodenheinner (Muslehuddin, 1991: 38) mengatakan,”ada keraguan serius,” apakah sistem sosial yang memenuhi syarat-syarat kepastian aturaan atau hukum bisa efektip tanpa keehadiran unsur yang substansial yaitu keadilan. Jika rasa keadilan sebagian besar masyarakat dihina dan diperkosa oleh suatu sistem yang mengakui hukum untuk menegakkan kondisi-kondisi hidup yang sesuai dengan aturan, maka otoritas publik akan mengalami kesulitan dalam menjaga sistem hukum melawan usaha-usaha subversif.
Orang-orang tidak akan bertahan lama menghadapi suatu tatanan yang mereka rasa sama sekali tidak sesuai dengan tidak masuk akal. Pemerintah yang mempertahankan aturan semacam itu akan terjeraat dalam kesulitan-kesulitan yang serius dalam pelaksanaannya. Artinya suatu tatanan yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan berbahaya. Sebagaimana diungkapkan John Dickinson, “Kita tidak hanya membutuhkan suatu sistem peraturan umum yang bercampur baur, tetapi utusan yang berdasarkan padaa prinsip keadilan”)Muslehuddin, 1991:38).
Aspek Nilai Etika dalam Hukum
Dari persoalan=persoalan yang ada dalam kehidupan manusia persoalan tentang moral dapat dikatakan merupakan persoalan pokok, karena moral menyangkut hubungan antara manusia yang mempersoalkan tentang apa yang baik dan apa yang buruk dalam persoalan tersebut. Untuk mengatur hubungan ini tentu diperlukn kaidah-kaidah tertentu yang bersifat mengikat dan mengarah hubungan antara sesama manusia untuk mengikutinya. Kaedah-kaedah ini adalah aturan-aturan moral yang mengharusakan manusia untuk mengikutinya. Manusia dikatakan mempunyai moral yang baik dan dapat dikataakan manusia susila apabila ia mentaati aturan-aturan moral(Asdi, 1998:11)
Faktor-faktur yang penting bagi manusia untuk menjadi manusia susila adalah adanya kesadaran moral yang dapat direalisasikan dalam tingkaah laku sehari-hari. Kesadaaran moral ini kesadaran untuk bertingkah laku baik, tidak hanya kalau berhadapan terhadap orang lain saja, tetapi berlaku terus tanpa kehadiran orang lain. Kesadaran ini berdasarkan pada nilai-nilai yang fundamental dan sangat mendalam. Dengan demikian maka tingkah laku yang lebih baik berdasarkan kepada otoritas kesadaran pribadi dan bukan atas pengaruh dari luar diri manusia, dasar ini terletak pada kodrat manusia. Drijarkara (1996:25) berpendapat bahwa: Moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia satu-satunya nilai yang betul-betul dapat disebut nilai bai manusia, dengan kata lain moral atau kesusilaan dapat disebut nilai bagi manusia sebagi manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Moral aaatau kesusilaan adalah perkembangan manusia yang sebenarnya.
Pada dasarnya manusia selalu menginginkan kebaikan dan usaha untuk mewujudkanya. Apabila seseorang berbuat kurang maka ia berusaha untuk membuat alasan yang dapat membenarkan tindakannya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa moral atau kessusilaan merupakan persoalan yang mendasar bagi kehidupan manusia sepanjang waktu. Dalam perkembangan ilmu dan teknologi yang dewasa ini, persoalan tentang moral moral hendaknya dapat ditampilkan dengan lebih tega. Perkembangan kebudayaan manusia yang tampil pada ilmu dan teknolohg, pada satu pihak membantu manusia membantu manusia menjadi lebih muda atau dapat merupakan humanisasi padaa satu pihak menyebabkan terasing manusia dari nilai-nilai moral.