AGAMA KRISTEN PADA ABAD PERTENGAHAN
Melalui isi bab ini kita bermaksud melakukan tugas yang mustahil dilaksanakan, dalam arti kita berusaha menceritakan sejarah perkembangan praktek dan pikiran pendidikan agama Kristen yang berlangsung sebelas abad lamanya tetapi hanya di Eropa Barat saja. Gambaran yang nampak demikian sewajarnya belum lengkap. Namun dapat dicatat beberapa puncak prestasi yang menunjukkan bagaimana begitu banyak orang Kristen bergumul dengan tantangan yang amat sulit diatasi. Di antaranya barang kali tidak ada tantangan yang lebih berat dari pada “anak kembar” ketunaaksaraan dan ketakhyulan. Tentu saja yang pertama itu menyokong yang kedua, tetapi yang kedua itu pun susah diatasi karena penyakit pertama itu agak umum dalam masyarakat Abad Pertengahan.
Sungguhpun keadaanya menguji coba jiwa banyak pemimpin gereja dan Negara, namun terdapat prestasi gemilang juga. Gereja sebagai persekutuan menghasilkan sejumlah pemikir yang tidak kurang kemampuannya ketimbang taraf kepemimpinan yang dikenal pada abad-abad lainnya. Di samping itu, gereja berusaha menjangkau sebagian keanggotaannya dengan pelbagai siasat mengajar. Dalam prosesnya muncullah beberapa isu pedagogis abadi yang masih tetap perlu diperhatikan oleh siapa saja yang bermaksud memperlengkapi para warga dari semua golongan umur dengan sumber-sumber iman Kristen, agar mampu hidup menang di tengah-tengah begitu banyak tantangan hidup.
1. Karena para anggota jemaat-jemaat pada zaman itu kebanyakan tuna aksara dan para pemimpin yang terdidik entah imam atau awam kurang sekali jumlahnya, gereja mengajar melalui penggunaan lambang-lambang. Demikianlah telah kita baca tentang lambang-lambang berupa Sakramen Baptisan dan Misa khususnya, drama agamawi, seni lukis/patung, buku naskah yang berhiasan, dan seni bangunan. Semuanya itu cenderung mendobrak hati indrawi warga jemaat ketimbang mendorong perkembangan pengetahuan dan pengertian mereka.
Membangun atas keadaan tersebut isu pedagogis abadi mencakup ketegangan kreatif antara pemupukan perasaan misteri agamawi dan perkembangan bagian kognitif dalam diri para warga persekutuan Kristen. Ketegangan ini sangat peka bagi persekutuan Protestan Indonesia yang berasal dari suku-suku yang kaya dengan simbolisme agamawi. Di bawah pengaruh teologi Protestan yang mengutamakan pentingnya memperoleh pengetahuan serta memahami isinya, peranan simbolisme cenderung dikesampingkan. Namun, di dalam kehidupan iman mesti ada tempat bagi keindahan.
Pertanyaan ialah: a)Bagaimana kekayaan simbolisme Kristen disamping yang terdapat dalam kebudayaan suku-suku dapat dimanfaatkan demi kepentingan pendidikan agama Kristen tanpa turut memupuk munculnya ketahyulan dalam prosesnya?; b) Bagaimanakah umat Kristen dapat mengembangkan pola pikir tanpa mengembangkan warga Kristen yang mampu berpikir terlepas dari penghargaan atas alasan mengapa mereka hendaknya berpikir demikian ? Dengan kata lain, para pemikir pendidikan agama Kristen ditantang mengembangkan rencana pedagogis yang mampu memupuk perasaan dan pikiran.
2. Pada Abad Pertengahan gereja memgembangkan sejumlah wadah pedagogis, tempat pelaksanaan pendidikan agama Kristen : jemaat itu sendiri, khusunya melalui kebaktian dan sistem sakramental, sekolah katedral, universitas, kesatriaan dan wadah pedagogis yang berlangsung dibawah naungan biara. Karena jaringan perhubungan terbatas sekali pada zaman itu, wadah-wadah pendidikan agama Kristen berasal dari berbagai titik geografis dan gerejawi dan bukan dari pusat tertentu, misalnya kepausan. Sudah barang tentu, mutu pendidikan yang dihasilkan dengan cara yang demikian tidak sama tingginya.
Dua isu pokok menonjo disini: a) Bagaimana salah satu wadah pedagogis yang sudah ada dapat dimanfaatkan sepenuhnya! Apakah ia harus tetap ada begitu saja, atau sebaliknnya ia dapat berubah sehingga banyak kemungkinan yang dapat dijelajahi demi pertumbuhan iman yang kuat dan berintegritas secara intelektual? b) Apabila diperhadapkan dengan keadaan/kebutuhan tertentu, wadah-wadah apakah yang perlu didirikan untuk menjawab kebutuhan tersebut? Sesudah wadah itu didirikan, bagaimana dapat dikembangkan agar memenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tersirat di dalamnya? c) Keberadaan wadah tertentu menimbulkan pertanyaan lain pula. Apabila salah satu wadah sudah lama hidup sebagai warisan, maka apakah umat Kristen setempat sudah begitu matang sehingga rela membiarkan wadah itu ditiadakan? Umpamanya, kita diingatkan akan wadah kekesatriaan yang memenuhi tujuan pedagogis terbatas tetapi sekaligus melibatkan diri dalam nilai-nilai yang bertentangann dengan iman Kristen yang menghargai damai sebagai nilai tinggi. Kembali kekeadaan jemaat modern , pertanyaan masih ada tentang sejauh mana ia rela meniadakan wadah apapun yang usang.
3. Keterlibatan kita dengan pengalaman Gereja Pertengahan mungkin membuka mata terhadapa sumbangan para pemikir sebagaimana mereka ini diwakili oleh enam orang saja. Dengan Karel Agung kita diperkenalkan dengan seorang awam berkuasa yang haus akan pengetahuan menjadi seorang pelajar teladan sebelum dia menyalurkan dana, sarana dana , sarana dan gereja demi kepentingan perkembangan para warga Kristen yang terdidik.
Raja Alfred dari Inggris memahami pentingnya sumber tertulis dalam bahasa daerah sebagai dasar bagi pendidikan. Dia tidak hanya memanfaatkan dana pembendaharaan Negara demi rencana darurat menerjemahkan buku-buku latin kedalam bahasa Inggris Kuno , dia sendiri berbuat demikian pula.
Rabanus Maurus dari Jerman mengajukan pertanyaan pokok dibidang pendidikan agama Kristen berupa pendidikan teologi. Apakah sudah cukup dalam pendidikan seorang calon pendeta kalau ia dilatih menjadi “ seorang tukang liturgi dan sakramen saja”, atau sebaliknya pendidikannya perlu mencakup vak-vak bukan teologis-teologis yang merupakan lingkungan luas tempat tugas berteologi berlangsung sebelum mempelajari vak vak teologis? Abelardus mendidik kita tentang kepentingan mengajukan pertanyaan sebagai dasar memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Dalam pengalamannya, belum ada jawaban mutlak sebagaimana nampak perbedaan pendapat di antara bapa-bapa gereja yang termulia.
Thomas Acquino ingin menolong para mahasiswa memperoleh jawaban yang tidak berdasarkan pendapat tokoh-tokoh berkuasa melainkan sebagai hasil usaha menjernihkan pemikiran. Sementara itu diperlihatkannya metode deduktif yang nampak dalam gaya mengajarnya. Bukan hanya itu saja. Dia menghargai juga peranan pernyataan dalam rangka mencari kebenaran teologis.
Barangkali pembaca merasa terharu oleh Gerson , seorang pemimpin gereja terkemuka yang menjalankan keyakinannya bahwa tidak ada jabatan gerejawi yang lebih tinggi daripada mendidik anak-anak dalam iman Kristen. Berbeda dengan pendapat banyak rekan sekerjanya, pelayanan itu memperkaya martabat jabatan pelayanan Firman dan tidak meremehkannya.
Walaupun para pendidik besar merasa diri berhutang pada prestasi dan pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh gereja sepanjang abad, namun mereka tak terbelenggu oleh warisan itu. Mereka rela memprakarsai pendekatan yang berbeda yang mungkin akan turut memperkaya iman banyak warga seiman.
Mungkinkah ada pelayanan pedagogis bermutu di kalangan gereja/jemaat terlepas dari keberadaan sejumlah orang yang berpikir secara mendalam tentang pelayanan pedagogis milik umat Kristen ? kita ditantang menjawab pertanyaan tersebut.
Melalui isi bab ini kita bermaksud melakukan tugas yang mustahil dilaksanakan, dalam arti kita berusaha menceritakan sejarah perkembangan praktek dan pikiran pendidikan agama Kristen yang berlangsung sebelas abad lamanya tetapi hanya di Eropa Barat saja. Gambaran yang nampak demikian sewajarnya belum lengkap. Namun dapat dicatat beberapa puncak prestasi yang menunjukkan bagaimana begitu banyak orang Kristen bergumul dengan tantangan yang amat sulit diatasi. Di antaranya barang kali tidak ada tantangan yang lebih berat dari pada “anak kembar” ketunaaksaraan dan ketakhyulan. Tentu saja yang pertama itu menyokong yang kedua, tetapi yang kedua itu pun susah diatasi karena penyakit pertama itu agak umum dalam masyarakat Abad Pertengahan.
Sungguhpun keadaanya menguji coba jiwa banyak pemimpin gereja dan Negara, namun terdapat prestasi gemilang juga. Gereja sebagai persekutuan menghasilkan sejumlah pemikir yang tidak kurang kemampuannya ketimbang taraf kepemimpinan yang dikenal pada abad-abad lainnya. Di samping itu, gereja berusaha menjangkau sebagian keanggotaannya dengan pelbagai siasat mengajar. Dalam prosesnya muncullah beberapa isu pedagogis abadi yang masih tetap perlu diperhatikan oleh siapa saja yang bermaksud memperlengkapi para warga dari semua golongan umur dengan sumber-sumber iman Kristen, agar mampu hidup menang di tengah-tengah begitu banyak tantangan hidup.
1. Karena para anggota jemaat-jemaat pada zaman itu kebanyakan tuna aksara dan para pemimpin yang terdidik entah imam atau awam kurang sekali jumlahnya, gereja mengajar melalui penggunaan lambang-lambang. Demikianlah telah kita baca tentang lambang-lambang berupa Sakramen Baptisan dan Misa khususnya, drama agamawi, seni lukis/patung, buku naskah yang berhiasan, dan seni bangunan. Semuanya itu cenderung mendobrak hati indrawi warga jemaat ketimbang mendorong perkembangan pengetahuan dan pengertian mereka.
Membangun atas keadaan tersebut isu pedagogis abadi mencakup ketegangan kreatif antara pemupukan perasaan misteri agamawi dan perkembangan bagian kognitif dalam diri para warga persekutuan Kristen. Ketegangan ini sangat peka bagi persekutuan Protestan Indonesia yang berasal dari suku-suku yang kaya dengan simbolisme agamawi. Di bawah pengaruh teologi Protestan yang mengutamakan pentingnya memperoleh pengetahuan serta memahami isinya, peranan simbolisme cenderung dikesampingkan. Namun, di dalam kehidupan iman mesti ada tempat bagi keindahan.
Pertanyaan ialah: a)Bagaimana kekayaan simbolisme Kristen disamping yang terdapat dalam kebudayaan suku-suku dapat dimanfaatkan demi kepentingan pendidikan agama Kristen tanpa turut memupuk munculnya ketahyulan dalam prosesnya?; b) Bagaimanakah umat Kristen dapat mengembangkan pola pikir tanpa mengembangkan warga Kristen yang mampu berpikir terlepas dari penghargaan atas alasan mengapa mereka hendaknya berpikir demikian ? Dengan kata lain, para pemikir pendidikan agama Kristen ditantang mengembangkan rencana pedagogis yang mampu memupuk perasaan dan pikiran.
2. Pada Abad Pertengahan gereja memgembangkan sejumlah wadah pedagogis, tempat pelaksanaan pendidikan agama Kristen : jemaat itu sendiri, khusunya melalui kebaktian dan sistem sakramental, sekolah katedral, universitas, kesatriaan dan wadah pedagogis yang berlangsung dibawah naungan biara. Karena jaringan perhubungan terbatas sekali pada zaman itu, wadah-wadah pendidikan agama Kristen berasal dari berbagai titik geografis dan gerejawi dan bukan dari pusat tertentu, misalnya kepausan. Sudah barang tentu, mutu pendidikan yang dihasilkan dengan cara yang demikian tidak sama tingginya.
Dua isu pokok menonjo disini: a) Bagaimana salah satu wadah pedagogis yang sudah ada dapat dimanfaatkan sepenuhnya! Apakah ia harus tetap ada begitu saja, atau sebaliknnya ia dapat berubah sehingga banyak kemungkinan yang dapat dijelajahi demi pertumbuhan iman yang kuat dan berintegritas secara intelektual? b) Apabila diperhadapkan dengan keadaan/kebutuhan tertentu, wadah-wadah apakah yang perlu didirikan untuk menjawab kebutuhan tersebut? Sesudah wadah itu didirikan, bagaimana dapat dikembangkan agar memenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tersirat di dalamnya? c) Keberadaan wadah tertentu menimbulkan pertanyaan lain pula. Apabila salah satu wadah sudah lama hidup sebagai warisan, maka apakah umat Kristen setempat sudah begitu matang sehingga rela membiarkan wadah itu ditiadakan? Umpamanya, kita diingatkan akan wadah kekesatriaan yang memenuhi tujuan pedagogis terbatas tetapi sekaligus melibatkan diri dalam nilai-nilai yang bertentangann dengan iman Kristen yang menghargai damai sebagai nilai tinggi. Kembali kekeadaan jemaat modern , pertanyaan masih ada tentang sejauh mana ia rela meniadakan wadah apapun yang usang.
3. Keterlibatan kita dengan pengalaman Gereja Pertengahan mungkin membuka mata terhadapa sumbangan para pemikir sebagaimana mereka ini diwakili oleh enam orang saja. Dengan Karel Agung kita diperkenalkan dengan seorang awam berkuasa yang haus akan pengetahuan menjadi seorang pelajar teladan sebelum dia menyalurkan dana, sarana dana , sarana dan gereja demi kepentingan perkembangan para warga Kristen yang terdidik.
Raja Alfred dari Inggris memahami pentingnya sumber tertulis dalam bahasa daerah sebagai dasar bagi pendidikan. Dia tidak hanya memanfaatkan dana pembendaharaan Negara demi rencana darurat menerjemahkan buku-buku latin kedalam bahasa Inggris Kuno , dia sendiri berbuat demikian pula.
Rabanus Maurus dari Jerman mengajukan pertanyaan pokok dibidang pendidikan agama Kristen berupa pendidikan teologi. Apakah sudah cukup dalam pendidikan seorang calon pendeta kalau ia dilatih menjadi “ seorang tukang liturgi dan sakramen saja”, atau sebaliknya pendidikannya perlu mencakup vak-vak bukan teologis-teologis yang merupakan lingkungan luas tempat tugas berteologi berlangsung sebelum mempelajari vak vak teologis? Abelardus mendidik kita tentang kepentingan mengajukan pertanyaan sebagai dasar memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Dalam pengalamannya, belum ada jawaban mutlak sebagaimana nampak perbedaan pendapat di antara bapa-bapa gereja yang termulia.
Thomas Acquino ingin menolong para mahasiswa memperoleh jawaban yang tidak berdasarkan pendapat tokoh-tokoh berkuasa melainkan sebagai hasil usaha menjernihkan pemikiran. Sementara itu diperlihatkannya metode deduktif yang nampak dalam gaya mengajarnya. Bukan hanya itu saja. Dia menghargai juga peranan pernyataan dalam rangka mencari kebenaran teologis.
Barangkali pembaca merasa terharu oleh Gerson , seorang pemimpin gereja terkemuka yang menjalankan keyakinannya bahwa tidak ada jabatan gerejawi yang lebih tinggi daripada mendidik anak-anak dalam iman Kristen. Berbeda dengan pendapat banyak rekan sekerjanya, pelayanan itu memperkaya martabat jabatan pelayanan Firman dan tidak meremehkannya.
Walaupun para pendidik besar merasa diri berhutang pada prestasi dan pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh gereja sepanjang abad, namun mereka tak terbelenggu oleh warisan itu. Mereka rela memprakarsai pendekatan yang berbeda yang mungkin akan turut memperkaya iman banyak warga seiman.
Mungkinkah ada pelayanan pedagogis bermutu di kalangan gereja/jemaat terlepas dari keberadaan sejumlah orang yang berpikir secara mendalam tentang pelayanan pedagogis milik umat Kristen ? kita ditantang menjawab pertanyaan tersebut.